KOMPAS.com - Indonesia memiliki lebih dari 2.000
spesies tanaman alami yang berpotensi untuk pengobatan bukan sebatas
pencegahan. Tradisi minum jamu juga terpelihara secara turun temurun,
dan terbukti khasiatnya secara empiris. Namun, obat herbal masih menjadi
pelengkap lantaran minimnya riset yang bisa memberikan bukti klinis
khasiat obat herbal.
Kondisi ini membuat obat herbal lebih banyak
dikonsumsi sebagai pelengkap. Juga tidak banyak dokter yang meresepkan,
meski secara empiris banyak obat herbal yang berkhasiat mengobati
penyakit. Sebut saja hipertensi, asam urat, serta sindrom metabolik atau
kombinasi dari gangguan medis yang meningkatkan risiko terkena penyakit
kardiovaskuler dan diabetes.
Riset SOHO Global Health
menyebutkan, lebih dari 50 persen dokter belum meresepkan obat herbal.
Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, empat miliar
orang atau 80 persen dari populasi dunia saat ini menggunakan obat
herbal juga untuk beberapa aspek perawatan kesehatan primer.
Prof
Nyoman Kertia, MD, PhD, Peneliti dan Pakar Temulawak Universitas Gajah
Mada (UGM) Yogyakarta mengatakan, banyak obat herbal dikonsumsi sebagai
pencegahan. Obat herbal biasanya diberikan sebagai komplementer,
diberikan dengan jeda dua jam dari obat kimia. Ini dikarenakan khasiat
obat herbal memang tidak secepat obat kimia.
Disamping itu,
lanjutnya, pemakaian obat herbal yang masih terbatas juga karena tidak
adanya bukti klinis. Dokter pada umumnya meresepkan obat, termasuk obat
herbal, hanya jika obat tersebut telah teruji klinis pada pasien.
Prof
Nyoman menyayangkan kondisi ini. Karena menurutnya, dokter sebenarnya
bisa meresepkan obat herbal berdasarkan penelitian berbasis pelayanan.
"Dokter
boleh memberikan obat herbal, koridornya penelitian berbasis pelayanan.
Jadi, saat memberikan obat herbal, dokter juga harus mendata pasien.
Karena bukti empiris pada sejumlah herbal cukup kuat, meski belum teruji
secara klinis. Dokter bisa memberikan ke pasien, asal jangan keluar
dari ranah ini," ungkapnya di sela pembukaan SOHO Global Health Natural
Wellness Sanctuary, di Central Park, Jakarta, Kamis (10/1/2013).
Menurutnya,
obat herbal dalam bentuk ekstrak dari tanaman seperti temu lawak,
kunyit, jahe, memiliki bukti empiris, efektif berkhasiat sebagai
antiradang, antimaag, meningkatkan nafsu makan, mengobati liver dan
ginjal, meningkatkan vitalitas tubuh dengan kandungan antioksidan
tinggi, juga bisa mencegah kanker.
"Jika rutin diminum dua kali
sehari dengan dosis 30 mg berupa ekstrak untuk orang dewasa, obat herbal
terutama temu lawak punya banyak khasiat bagi kesehatan tubuh,"
terangnya.
Konsumsi obat herbal dalam bentuk ekstrak lebih
efektif penyerapannya dalam tubuh karena partikelnya yang lebih kecil.
Meski masih minim, bukti klinis mengenai khasiat obat herbal perlahan
semakin terungkap. Salah satunya, berdasarkan hasil riset di Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional
(B2P2TOOT) Tawangmangu.
Ir Yuli Widiastuti, MKes, Peneliti Senior
B2P2TOOT, Kementerian Kesehatan RI, mengatakan hasil penelitian pada
2012 di Tawangmangu menunjukkan racikan jamu memiliki efikasi setara
dengan obat modern, untuk hipertensi dan asam urat.
"Terapi jamu
berbasis racikan memberikan hasil positif pada pasien jamu berbasis riset
di klinik di Tawangmangu. Kami memberikan jamu racikan bukan sirup yang
komponen utaman ekstrak. Resep diberikan berdasarkan diagnosis dokter,"
ungkapnya.
Hasil uji klinis pada pasien di Tawangmangu ini,
menurut Yuli, bisa ditindaklanjuti terutama oleh industri jamu, untuk
mengemas jamu racikan agar bisa dinikmati khasiatnya oleh lebih banyak
orang.
Sumber : http://health.kompas.com/read/2013/10/10/1556179/Obat.Herbal.Masih.Sebagai.Pelengkap
Anda ingin membeli obat herbal? Klik di sini