Ada kebiasaan orang Indonesia, lebih suka berobat alternatif daripada
dokter, atau pengobatan dengan herbal. Ada beragam jenis pengobatan
herbal. Yang jelas, ada banyak alasan mengapa orang lebih memilih
pengobatan/ mengkonsumsi daripada obat-obatan medis.
Obat herbal (termasuk jamu) berbahan tanaman. Bisa dari akar, batang
atau daun. Tidak ada yang salah dengan mengkonsumsi obat-obatan herbal
jenis apa saja. Jika itu memang membantu pemulihan penyakit Anda.
Dan perlu digaris bawahi, sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh, serta
berkonsultasi dengan dokter yang merawat. Karena hampir semua orang yang
mengkonsumsi obat-obatan herbal (barangkali juga termasuk Anda), tidak
memberi tahu dokter. Ini karena ’takut ketahuan’; ada anggapan bahwa
semua dokter menentang segala jenis penggunaan obat-obatan herbal.
Padahal bukan seperti itu.
Dokter melarang dengan alasan jika obat tersebut tidak bermanfaat
bagi tubuh. Atau dalam kasus yang lebih banyak terjadi, karena yang
dikonsumsi justru memperparah penyakit yang sudah diderita. ”Dokter itu
bukan melarang, tapi pasien harus kritis, harus tahu kandungan yang ada
dalam obat yang dikonsumsinya,” imbuh DR Dr Lestariningsih Sp PD KGH.
Obat herbal ada yang terbukti bermanfaat bagi kesehatan, ada juga
yang memperparah. Jika kondisi tubuh menjadi lebih baik, dr. Lestari
menyarankan, agar kesehatan Anda dicek lebih lanjut, karena sifatnya
(efek dari obat) tidak pasti. Namun berdasarkan pengalamannya sendiri,
beberapa pasiennya yang mengkonsumsi obat-obatan herbal, justru
penyakitnya bertambah parah.
Misalnya obat herbal jenis jelly gamat. Pasien mengkonsumsi obat /
makanan terapis ini dengan alasan untuk mengurangi/ menghambat kerusakan
ginjal. Yang membuat kondisi pasien semakin memburuk adalah, tidak
memperhatikan kandungan kalium pada obat. Padahal jika kandungan kalium
tinggi, akan timbul efek samping seperti sesak napas.
Contoh lainnya, obat yang dikonsumsi justru menaikkan kadar kreatinin
pada pasien gagal ginjal. ”Kalau ada yang mengatakan bahwa ada obat
(herbal) yang bisa menunda cuci darah, itu tidak benar,” tegas dr.
Lestari. Jika tidak paham dengan kandungan, serta bagaimana kondisi
kesehatan, efeknya akan buruk.
Jika kita terbuka dengan dokter, kita bisa berkonsultasi, apakah obat
yang kita konsumsi, aman/ layak atau tidak. Sebagai konsumen sekaligus
pasien, kita harus waspada dan kritis terhadap apa yang akan kita
konsumsi. Jangan mudah tergoda dengan imingiming cepat sembuh, tanpa
harus operasi, dan sebagainya.
Label BPPOM
Pemerintah saat ini sedang menggalakkan penggunaan obatobatan herbal.
Regulasi pemakaian obat herbal sudah diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 1109 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Pengobatan Komplementer- Alternatif, di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Selain itu, ada pula Kepmenkes Nomor 12 Tahun 2008 tentang Standar
Pelayanan Herbal, dan Kepmenkes Nomor 3 Tahun 2010 tentang Saintifikasi
Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.
Pentingnya pengawasan dan registrasi dari BP POM, untuk menguji aman
atau tidak, layak konsumsi atau tidak, halal atau tidak (jika obat tidak
halal, BP POM akan memberikan keterangan pada label obat tersebut), dan
apakah berbagai kandungan/ komposisi yang tertera pada label, memang
benar/ akurat dengan isinya. Ini tentu saja supaya kita sebagai konsumen
merasa lebih aman.
Banyaknya obat herbal yang beredar, bahkan yang tertera logo dan
nomor register dari BP POM, bisa saja palsu. ”Tapi kita bisa mengecek
keakuratannya, melalui situs resmi BPPOM. Itu berlaku untuk semua jenis
obat dan kosmetik,” jelas Elisabeth Yoana MA, S.Farm, Apt., ahli farmasi
SMC Telogorejo Semarang.
Jika obat pabrikan/ medis terdiri dari tiga jenis; obat bebas, obat
bebas terbatas serta narkotika dan psikotropika, obat herbal juga
terdiri dari tiga jenis, jamu, obat herbal berstandar dan fitofarmaka.
Yang termasuk golongan jamu, adalah formula tradisional yang sudah
digunakan turun-temurun, tanpa studi praklinis dan klinis, dan memiliki
efikasi.
Sedangkan obat herbal dengan logo jamu seperti penghilang masuk
angin, termasuk dalam obat herbal berstandar. Formulanya dari jamu atau
penemuan obat herbal baru, sudah melalui uji praklinis (pada hewan), dan
di kalangan profesi medis, digunakan sebagai terapi alternatif.
Fitofarmaka merupakan jenis obat herbal yang paling tinggi, karena sudah
teruji secara praklinis dan klinis. Formulanya mengandung obat dan
mempunyai efek kuratif (menyembuhkan).
Baru ada enam jenis tanaman herbal Indonesia yang memenuhi standar
fitofarmaka, diantaranya pegagan dan temulawak. Tiga jenis obat herbal
ini, jika memang resmi dikeluarkan dari BP POM, memiliki logo lingkaran
warna hijau pada kemasannya.
Lalu, yang tak boleh luput dari perhatian adalah label jenis obat
yang tertera pada kemasan. Misalnya jenis parasetamol, dan yang tertera
pada labelnya adalah sebagai obat nyeri dan pusing. Jika penjual/
produsen mengatakan bahwa obat tersebut bisa menyembuhkan penyakit
lainnya (yang tidak tertera pada label), maka itu belum tentu terbukti.
Jadi, selain yang tertera pada label, belum terbukti khasiatnya.
Banyak obat herbal yang beredar tanpa registrasi dari BP POM.
Beberapa merupakan obat-obatan dari MLM (Multi Level Marketing). Alasan
penjual biasanya karena obat-obatan ini seluruhnya impor, sehingga harga
menjadi sangat mahal. ”Sebenarnya harga yang mahal bukan alasan untuk
tidak memiliki izin beredar (di Indonesia).
Karena obat-obatan yang harganya sampai puluhan juta, dan terdaftar
di BP POM itu ada. Kalau kita mengkonsumsi obatobatan yang tidak
teregistrasi di BP POM, jika terjadi sesuatu yang buruk, kita tidak bisa
menuntut,” jelas Yovita Dwi Arini, S.Farm, Apt. Apoteker SMC Telogorejo
Semarang. Nah, kalau kurang cermat, kita juga yang akan rugi.
Obat Tetes Mata
Mengkonsumsi obat herbal tak hanya bagi yang menderita
penyakit-penyakit dalam, tapi juga mata. Jika tak berhati-hati dan
cermat memilih, maka efeknya akan buruk bagi organ penglihatan Anda.
Dr Fifin Luthfia Rahmi, SpM(K) menyatakan, ada sebuah kasus, di mana
beberapa orang yang mengonsumsi obat tetes mata yang disebut herbal,
mengalami mata yang meradang/ membengkak.
”Mata itu organ yang paling halus, mudah terkontaminasi kuman dan
sebagainya. Makanya kita harus hati-hati, pastikan kandungan dan
komposisinya aman untuk mata,” paparnya. Beberapa kasus yang pernah
terjadi pada pasiennya, ada yang mengkonsumsi obat mata untuk katarak.
Namun pada akhirnya sang pasien tetap harus menjalani operasi, untuk
menyembuhkan kataraknya.
Sedangkan gangguan umum yang terjadi, adalah mata merah dan bengkak.
Untuk itu, sebagai konsumen, Anda harus lebih teliti. Idealnya, satu
jenis obat hanya untuk mengobati satu jenis penyakit. Jika ada satu
untuk berbagai macam penyakit, maka obat tersebut belum teruji secara
klinis.
Nah, memutuskan untuk mengkonsumsi obat-obatan herbal atau tidak,
Anda bebas memilih. Namun tetap berhati-hati dan berkonsultasi pada
dokter yang merawat Anda, demi penyembuhan yang aman.
Sumber : http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2013/11/17/243408
Anda ingin membeli obat herbal? Klik di sini